IMPLIKASI KEIMANAN DAN KETAKWAAN DIDALAM ISLAM
IMPLIKASI KEIMANAN DAN KETAKWAAN DIDALAM ISLAM
Berikut adalah artikel tentang Implikasi keimanan dan ketaqwaan didalam Islam semoga dapat kita petik ilmunya dan berikut adalah penjelasannya :
A. IMPLIKASI KEIMANAN
Jika Iman diartikan “ Percaya “, maka ciri-ciri orang yang beriman tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT, karena yang mengetahui isi hati seseorang hanyalah Allah saja, karena pengertian iman yang sesungghnya adalah meliputi aspek Qalbu, ucapan dan perilaku, maka ciri-ciri orang yang beriman akan dapat diketahui dengan cara antara lain sebagai berikut :
1. Tawakal
2. Mawas diri dan bersikap ilmiah
3. Optimis dalam menghadapi masa depan
4. Konsisten dan menepati janji
5. Tidak sombong
Kita mulai pembahasan dari poin pertama.
1. Tawakal
Apabila dibacakan Ayat-ayat Allah ( Al-Qur’an ) Qalbunya senantiasa merasa tergelitik untuk melaksanakannya, sebagaimana Firman Allah yang artinya :
“ Sesunghnya orang-orang yang beriman adalah apabila disebut ( Nama ) Allah, Gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-nya, bertambahlah iman mereka dan mereka bertawakal kepada Tuhannya “. ( QS Al-Anfaal 8 : 2 ) .
“Tawakkal” yaitu senantiasa hanya mengabdi ( hidup ) menurut apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, orang yang bertawakkal adalah orang yang menyandarkan berbagai aktivitasnya atas perintah Allah. Seorang mukmin, maka bukan didorong oleh rasa laparnya akan tetapi karena sadar akan perintah Allah. Allah SWT Berfirman yang artinya :
“ Hai sekalian orang-oran yang beriman, makanlah dari yang baik-baik dari yang kami rezekikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepadanya kamu menyembah “. ( QS Al-Baqarah 2 : 172).
Surat atau ayat diatas tersebut menjelaskan bahwa seorang yang makan dan minum karena didorong oleh rasa lapar atau haus, maka mukminnya adalah mukmin batil, karena perasaanlah yang menjadi penggeraknya. Dalam konteks islam bila makan pada hakikatnya melaksanakan perintah Allah supaya fisik kuat untuk beribadah ( dalam arti luas ) Kepadanya.
2. Mawas diri dan bersikap Ilmiah
Pengertian mawas diri disni dimaksudkan agar seseorang tidak terpengaruh oleh barbagai kasus dari manapun datangnya,baik dari kalangan jin maupun manusia, bahkan mungkin juga datang dari dirinya sendiri. Allah SWT Berfirman yang artinya :
“ Katakanlah bahwa aku berlingdung kepada Tuhan yang mmelihara manusia. Yang menguasai manusia. Tuhan bagi manusia. “ ( QS An- Naas 144 : 1-3 ).
Mawas diri yang berhubungan dengan alam fikir, yaitu bersikap kritis dalam menerima informasi, terutama dalam memahami nilai-nlai dasar keislaman, hal tersebut dibutuhkan agar terhindar dari berbagai fitnah, dijelaskan dalam firman Allah yang artinya :
“ Dialah yang menurunkan kitab ( AL-Qur’an ) kepadamu; diantaranya ada ayt-ayat yang muhkamat ( terang maknanya ) itulah ibu ( Pokok ) Kitab dan yang lain Mutasaihat ( tidak terang maknanya ). Maka adapun orang-orang yang hatinya cenderung pada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya ( menurut kemauwannya ), padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “ kami beriman dengannya ( kepada ayat-ayat yang mutasabihat ) semuanya itu dari sisi tuhan kami “ dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang mempunyai pikiran “. ( QS Ali-Imran 3 : 7).
Atas dasar pemikiran tersebut, hendaknya seseorang tidak dibenarkan menyatakan suatu sikap, sebelum mengetahui terlebih dahulu permasalahannya. Allah SWT kembali berfirman yang artinya :
“ Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungghnya pendengaran, penglihatan dan hati , semuanya akan ditanya “. ( QS AL-Israa’ 17 : 36 ).
3. Optimis dalam menghadapi masa depan.
Perjalanan hidup ,manusia tidak sluruhnya mulus, akan tetapi mengalami berbagai rintangan dan tantangan yang memerlukan solusi atau pemecahan terhadap suatu jalan keluar. Jika suatu trantangan atau permasalahan tidak dapat diselesaikan segera, tantangan itu akan semakin menumpuk. Jika seorang tidak dapat menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan, maka orang tersebut dihinggapi penyakit psikis, yang lazim disebut kejiwaan, antara lain frustasi, nervous, depresi, dan lain sebagainya. Al-Qur’an memberikan petunjuk keapda manusia untuk selalu bersikap optimis karena pada hakikatnya tantangan, merupakan pelajaran bagi setiap manusia. Hal tersebut dinyatakan dalam surat peritungan, tidaklah perlu memikirkan bagaimana hasilnya nanti, karena hasil adalah akibat dari suatu perbuatan.
Namun Rasulullah SAW menyatakan bahwa orang yang hari ini hidupnya lebih jelek dari hari kemarin, adalah orang yang merugi dan jika hidupnya sama dengan hari kemarin berarti tertipu, dan bahagia adalah orang yang hidupnya hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Jika optimism merupakan suatu sikap yang terpuji , maka sebaliknya pesimisme merupakan suatu sikap yang tercela, sikap ini seharusnya tidak tercermin didalam diri seorang mukmin. Hal ini seperti yang dinyatakan didalam Firman Allah SWt yang artinya :
“ Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesunghnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kamu yang kafir “. ( QS Yusuf 12 : 87 ).
4. Konsisten dan Menepati janji.
Janji adalah Hutang. Menepati janji berarti membayar hutang dan sebaliknya mengingkari janji adalah merupakan suatu penghianatan. Allah SWT berfirman yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah segala janji, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali kecuali yang akan dibacakan kepadamu ( Larangann-nya ) tidak boleh berburu ketika kamu sedang irham, sesungghnya Allah menetapkan hukum terhadap apa yang dikehendakinya “. ( QS Al-Maai’dah 5 : 1 ).
Seorang mukmin senantiasa akan menepati janji, dengan Allah, sesame manusia, dan dengan ekologinya ( lingkungannya ). Seseorang mukmin adalah yang telah berjanji untuk berpandangan dan bersikap dengan yang dikehendki Allah. Seorang suami misalnya, ia telah berjanji untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Sebailknya istri pun demikian. Seorang mahasiswa, ia telah berjanji untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku dilembaga pendidikan tempat ia studi atau belajar, baik yang bersifat administrative maupun akademis. Seorang pemimpin berjanji untuk mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Janji terhadap okologi berarti mmenuhi dan memelihara apa yang dibutuhkan oleh lingkungannya, agar tetap berdaya guna dan berhasil guna.
![]() |
IMPLIKASI KEIMANAN DAN KETAKWAAN |
5. Tidak Sombong
Kesombongan merupakan suatu sifat dan sikap yang tercela yang membahayakan diri maupun orang lain dan lingkungan hidupnya. Seorang yang telah merasa dirinya pandai, karena kesombongannya akan berbalik menjadi bodoh lantaran malas belajar, tidak mau bertanya kepada orang lain yang dianggapnya bodoh. Karena ilmu pengetahuan itu amat luas dan berkembang terus, maka orang yang merasa telah pandai, jelas akan menjadi bodoh, Allah Melarang sifat tersebut didalam ayatnya yang artinya :
“ dan janganlah engkau palingkan pipimu kepada manusia, dan janganlah berjalan dengan sombongdimuka bumi, sesungghnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi congkak “. ( QS Luqman 31 : 18 ).
B. KETAKWAAN
Didalam islam, tidak menghendaki seseorang hanya cukup dengan beriman saja, akan tetapi harus digandeng dengan perbuatan. Perbuatan yang dituntut adalah : Ketakwaan. Iman dan Takwa ( IMTAQ ) sudah menjadi suatu kesatuan yang satu sama lain harus saling mengikat, keduanya tidak dapat dipilih dan dipilah. Cirri orang yang beriman adalah taqwa, dan sebaliknya cirri orang yang taqwa tentu harus memiliki iman.
Konsep ketakwaan berasal dari kata Taqwa. Pengertian Taqwa adalah :
“ Imtitsalul ma’murot wajtinaabul manhiyyat “ yang artinya : mengikuti memenuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya “.
Mengingat defenisi taqwa ini, memang tidak tidak mudah melaksanakan taqwa yang sebenarnya. Sebab menjalankan perintah sudah menjadi tugas tersendiri yang amat berat. Belum lagi harus menjauhi segala larangannya. Untuk itulah kita harus senantiasa meningkatkan ketaqwaan.
Aplikasi ketaqwaan itu dibingkai dalam bentuk ibadah. Ibadah mempunyai dua bentuk yakni : “ Ibadah Mahdlah atau ibadah ritual dan ibadah Ghairu mahdlah atau ibadah social “. Ibadah ritual ialah, ibadah yang telah ditentukan macam syarat, tata cara, dan rukunnya oleh Allah dalam Al-Qur’an atau melalui sunnah rasul didalam hadistnya. Pelanggaran terhadap tata cara, syarat dan rukunnya menjadikan ibadah ritual tidak sah.
Ibadah social ialah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan baik oleh AL-Qur’an ataupun oleh sunnah Rasul. Ibadah social menyangkut perbuatan apa saja yang dilakukan oleh seorang muslim, selama perbuatan itu tidak termasuk yang dilarang oleh Allah atau Rasulnya dan dilakukan dengan niat karena Allah. Seperti yang dikatan oleh Imam Quraisi dalam kitab “Duratun Qona’ah “ ( Menerima Takdir ), Wara’ ( hati-hati ) dan Yaqin ( Tawakkal ). Abu Laits mengatakan bahwa seorang dinyatakan takut ( Taqwa ) kepada Allah dapat dilihat tanda-tandanya dari beberapa hal berikut ini yakitu :
1. Ia memiliki Lidah yang selalu membuatnya sibuk untuk berdzikir kepada Allah, membaca AL-qur’an dan memperbincangkan ilmu. Dengan demikian lidahnya tidak lagi digunakan untuk berdusta, menggungjing dan mengadu domba.
2. ia memiliki hati yang dari dalamnya selalu megeluarkan perasaan tidak bermusushan dan dengki kepada sesamanya.
3. penglihatannya tidak memandang yang haram, tidak memandang dunia dengan keinginan nafsu, tetapi ia memandangnya dengan mengambil I’tibar ( contoh )
4. tidak mengisi perutnya dengan sesuatu yang sifatnya berasal dari yang haram.
5. tanganya tidak dipanjangkan kejalan yang dilarang oleh Allah ( yang haram )
6. kakinya tidak dipergunakan untuk menuju tempat yang tidak seharusnya ( Yang maksiat ) dan dilarang oleh islam ( Allah )
7. kataatannya murni dari hati karena Allah semata.
Amalan tersebut diatas memang tidak mudah untuk dilaksanakan, tetapi bagi orang yang benar-benar mengharapkan kebahagiaan yang abadi diakhirat kelak, beban berat yang mesti dilaksakan itu bukan lagi menjadi persoalan, meski harus merangkat sedikit demi sedikit. insyaallah dengan usaha yang seperti ini ketaqwaa kita akan semakin meningkat dan memiliki dampak terhadap seseorang itu seperti akan diberi jalan kemudahan dalam memecahkan persoalan dan akan diberi rezeki yang datangnya tidak diduga-duga.
Allah SWT berfirman yang artinya :
“ Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan membarinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka “ ( QS Ath-Thalaag 2-3 ).
“ Hai orang orang yang bariman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatika apa apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok ( Akhirat ); dan bertakwalah kepada Allah , sesunghnya Allah Maha mngetahui apa yang kamu kerjakan “. ( QS AL-Hasyr 59 : 18 ).
Jika diperhatikan, takwa merupakan kaidah yang terdiri dari suruhan (amar ) dan larangna ( Nahyi ). Melaksanak amar berdampak pahala ( reward ) sedangkan melanggarnya berdampak siksa ( Punisment ) orang yang melaksanakan ketakwaan disebut dengan “Muttakin” sehingga dari setiap perbuatan ibadah ritual pada ahirnya akan mencapai derajat muttaqin. Gunakan Al-Qur’[an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ibadah puasa ingin memperoleh derajat muttaqin, shalat yang dilakukan berdampak pada “amar ma’ruf nahyi munkar”, naik haji supaya jadi haji yang mabrur, artinya : semua berdampak pada kebajikan yang dibagikan oleh ketaqwaan .
Jadi kesimpulannya adalah : keimanan berada dalam Qalbu ( hati ) yang harus selalu komitmen ( istoqomah ) sedangkan Taqwa adalah aplikasi dari keyakinan yang diwadahi oleh dua bentuk ibadah yaitu : “ Mahdlah dan Gair Mahdlah.
“ Terimakasih semoga bermanfaat “