Kandungan Tafsir Al-Qur’an Tentang Akal Fikiran Manusia
Kandungan Tafsir Al-Qur’an Tentang Akal Fikiran Manusia
Akal merupakan salah satu Nikmat terbesar yang Allah SWT berikan kepada kita ummat manusia dimana nikamt yang bisa dikatakan sebagai kado indah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah azzawajalla yang sunggu luar biasa karena dengan akal yang diberikan maka manusia dapat dibedakan dengan makhluk lainnya. Didalam satu ayatnya, Allah SWT memberi semangat akan arti akal dan untuk menggunakan akal di antaranya adalah :
وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتُۢ بِأَمۡرِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
“ dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan ( untukmu ) dengan perintahnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang memahaminya “ ( QS. An-Nhal : 12 )
Akal yang terpuji adalah ketika kita menggunakannya pada tempatnya, tetapi juga bisa menjadikan manusia tercela, yakni ketika kita menggunakan akal bukan pada tempatnya dan ketahuilah bahwa akal dapat menjadi temanmu dan juga dapat menjadi musuhmu, ia juga dalam memeberimu seribu kebaikan dan juga sebaliknya jika kita tidak bisa mengendalikannya ditempat yang sebenarnya.
Islam memeberikan nilai yang tertinggi terhadap peranan akal manusia dan hal itu terlihat dari beberapa poin berikut :
1. akal yang sehat merupakan syarat yang harus ada dan mutlak didalam diri manusia untuk dapat menerima taklif ( kewajiban ) dari Allah SWT. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang akalnya tidak sehat atau tidak berfungsi pada tempatnya.
![]() |
Kandungan Tafsir Al-Qur’an Tentang Akal Fikiran |
Adapun sabda Rasulullah SAW mengatakan :
“ Pena ( catatan pahala dan dosa ) diangkat dari tiga golongan, diantaranya orang yang gila sampai ia kembali sadar ( berakal ) “ ( HR Abu Daud dari Ali, Sunan Abu Daud, Kitab Al-Hudud, vol 11 hal 339 )
2. Allah SWT, hanya menyampaikan firmannya kepada orang-orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami Agama dan syari’atnya.
Allah SWT berfirman :
“ dalam pelajaran bagi orang-orang yang berfikir sehat “ ( QS Sad 38 : 43 )
3. Al-Qur’an menyebut sejumlah proses dan aktifitas pemikiran sebagai amalan yang sangat mulia, seperti tadabbur, tafakkur, ta’aqqul. Kalimat semacam “ la’allakum tatafakkarun “ ( mudah-mudahan kamu berfikir ) atau “ afalaa ta’qiluun “ ( Apakah kamu tidak berakal ) atau pula “ afalaa yatadabbaruun “ ( apakah mereka tidak merenungi ) banyak mewarnai dan menghiasi firman-firman
Allah SWT di dalam Al-Qur’an .
4. Islam mencela takliq ( mengikuti pendapat orang lain tanpa berfikir jernih ) yang membatasi dan melumpuhkan fungsi akal. Allah SWT Berfirman :
“ jika dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’ mereka menjawab’tidak, kami akan mengikuti apa yang dilakukan nenek moyang kami. Padahal nenek moyang mereka tidak mengetahui apapun dan mereka tidak mendapat petunjuk “ ( QS. Al-Baqarah 2: 170 )
5. Islam memuji mereka yang menggunakan akalnya dalam memahami mengeikuti kebenaran. Allah SWT menegaskan dalam firmannya yang berbunyi :
“ Oleh karena itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hambaku yaitu mereka yang mendengar perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat “ ( QS. Az-Zumar 39: 17-18 )
Memahami beberapa poin diatas maka jelaslah bahwa betapa islam menghargai kedudukan akal didalam diri manusia yang berfikir. Lalu pertanyaannya, benarkah kita dilarang menafsirkan Al-Qur’an dengan akal ? padalahy islam sangat banyak member penghargaan kepada akal itu sendiri.” Kita diharamkan menafsirkan Al-Qur’an dengan akal apabila penafsiran itu dilakukan dengan serampangan dengan kata lain tidak mengikuti kaidah-kaidah yang baku “
Namun jika jika penafsiran itu dengan menggunakan akal dan mengikuti metode-metode tafsir Al-Qur’an yang baku, tentu saja itu , tentu saja itu tidak dilarang. Atas dasar itu, maka para ulama telah menyusun sejumlah prinsip dan kaidah umum agar terhindar dari berbagai bentuk kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an , yaitu dengan metode sebagai berikut :
1. Menafsirkan Al-Qur-an dengan Al-qur’an itu sendiri.
- maksudnya jika ada yang tidak jelas pada salah satu bagiannya maka akan diperjelas oleh bagian yang lainnya. Yang kita lakukan disini adalah kembali kepada penjelasan Allah SWT. Sebab ialah yang lebih tahu tentang apa yang ia sampaikan dan apa yang ia inginkan daripadanya.
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah Rasulullah .
Rasulullah SAW adalah utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dari Tuhannya, sehingga ia akan lebih mengerti maksud dan kehendak-nya, Allah SWT sendiri telah menjamin bahwa Rasulullah SAW, tidak pernah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Karena itu, merujuk pada tafsir beliau tentu lebih utama dan lebih layak daripada yang lainnya. Allah SWT berfirman :
“ Agar kamu terangkan kepada manusia apa yang telah diturnkan kepada mereka dan agar mereka berfikir “ ( QS. An-Nhal 16: 44 )
“ Allah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendir, yang membaca kepada mereka ayat-ayat –nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kitab dan hikmah ( Sunnah ) kepada mereka meskipun sebelumnya mereka dalam kesesatan nyata “ ( QS. Al-Jumu’ah 62 : 2 ).
Yang dimaksudkan dengan mengajarkan kitab kepada mereka yaitu menjelaskan mekna-makna dan hukum-hukumnya. Sunnah Rasulullah adalah penjelasan dan tafsir yang dapat menyingkap rahasia , muatan, dan hukum yang terdapat dalam AL-Qur’an. Ia menafsirkan ayat-ayat yag masih bersifat umum dan menjelaskan ayat-ayat yang masih samar. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu Bagian dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, ummat islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara kelangsungan keabsahan dan Validitas Sunnah Rasulullah.
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat.
Karena pada sahabat menyaksikan proses turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Mengetahui sebab-sebab, serta berbagai situasi dan peristiwa saat Al-Qur’an diturunkan. Dan disamping itu, merekalah generasi yang lebih memahami pelik bahasa Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka. Diatas semua itu, mereka telah lebih dahulu beriman kepada Allah dan Rasulnya, percaya kepada seluruh kandungan dan makna Al-Qur’an, serius dalam memahami dan merenungi makna-maknanya , kemudian konsisten dalam mengamalkannya sepanjang hayat mereka.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan para Tabi’in.
Tabi’in adalah Murid para sahabat Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri telah menyatakan bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah generasi sahabat,
Rasulullah SAW bersabda :
“ Sebaik-baik zaman adalah zamanku , kemudia zaman sesudahku, kemudian sesudahnya lagi “ ( HR. Muslim dari Abdullah, Sahih Muslim, Fadhoilu Al-Shahabat Vol.11, hal.503, )
Itulah sebabnya, merujuk pada penjelasan dan tafsir mereka jauh lebih baik dan lebih layak dibandingkan tafsir yang lainnya. Apabila keempat tahapan diatas sudah dilewati, baru kita menggunakan kekuatan rasio atau akal untuk memahami atau menafsirkan Ayat-ayat Al-Qur’an.
Maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa , Islam sangat menghargai kdudukan Akal manusia, kita diperkenankan Menafsirkan Al-Qur’an dengan akal asalkan mengikuti aturan baku dalam Penafsirannya.yaitu sebelum kita menfsirkannya dengan kekuatan akal, terlebih dahulu kita harus menfsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur-an itu sendiri kalau tidak ada tafsirnya dalam Al-Qur’an kita tafsirkan dengan sunah Rasul, kalau tidak ada dalam sunah kita tafsirkan dengan pendapat sahabat, dan kalau tidak kita temukan penafsiran mereka, kita tafsirkan dengan pendapat tabi’in. Setelah itu semua dilewati, barulah kita tafsirkan dengan kekuatan akal. Wallahu A’lam.
“ Terimakasih semoga bermanfaat “