Pengertian Dan Macam –Macam Hukum Syari’at
Pengertian Dan Macam –Macam Hukum Syari’at
A. Pengertian Hukum Syari’at
Yang dimaksud dengan hukum syari’at menurut para ulama adalah seperangkat aturan yang berasal dari pembuat syariat ( Allah SWT ) yang berhubungan dengan perbuatan manusia, yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara mengrjakan atau meninggalkan. Contohnya pada ( QS AL-Ankabut 29 : 45 ) yang artinya :
“ Bacalah apa yang telah diwahyukan padamu yaitu alkitab ( Al-Qur’an ) dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari ( perbuatan –perbuatan ) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah ( Shalat ) adalah lebih besar ( keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain ). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan “. ( QS AL-Ankabut 29 : 45 ).
Ayat tersebut berisi tuntutan dari Allah agar itu dikerjakan, maka hal tersebut kemudian disebut dengan hukum syariat. Dan masih banyak contoh yang lain.
Secara garis besar hukum islam terbagi menjadi 5 macam yakni :
1. WAJIB
Yang disebut wajib ialah : suatu perbuatan yang apa bila dikerjakan oleh seseorang maka orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan apa bila perbuatan itu ditinggalkan maka akan mendapat siksa.
Baca juga : Metode Da’wah Nabi Besar Muhammad SAW
Suatu pernyataan didalam Al-Qur’an atau hadist dapat dikatakan mengandung hukum wajib apabila dalam pernyataan tersebut mengandung beberapa petunjuk antara lain :
a. secara tegas mengandung kata-kata yang menunjukkan keharusan untuk dikerjakan. Misalnya pada Firman Allah SWT yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa “. ( QS Al-Baqarah 2 : 183 )
Kata yang menunjukkan perintah tegas dalam ayat tersebut adalah kata “ Kutiba “ ( diwajibkan ) maka puasa dibulan suci Rhamadhan itu hukumnya wajib.
b. Pernyataan tersebut merupakan kalimat perintah yang tegas, misalnya Pada Firman Allah SWT Yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( AL-Qur’an ) dan Rasul ( Sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( Bagimu ) dan lebih baim akibatnya. “ ( QS An-Nisaa’4 : 59 ).
Kata “ athi’u “ adalah kalimat perintah untuk memerintahkan suatu pekerjaan agar dikerjakan. Pada umumnya kalimat perintah pada Al-qur’an menuntut agar dikerjakan sehingga wajib hukumnya, meskipun ada pengecualian-pengecualian tertentu sesuai dengan konteks ayat. Ditinjau dari segi kepada siapa kewajiban tersebut dibebankan “ hukum wajib “ ada dua (2) macam yaitu :
- “ Wajib Ain “ yaitu kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada setiap orang yan gsudah baligh ( mukallaf )artinya apabila dalam suatu masyarakat yang mngerjakan hanya sebagian sementara yang lain tidak mengerjakan , maka yang tidak mengerjakan harus tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya yaitu meninggalkan kewajiban, misalnya shalat dan membeyar zakat.
- “ Wajib Kifa’I “ ( Kifayah ) yaitu kewajiban yang dibebankan didalam agama kepada kelompok orang yang sudah baligh. Artinya apa bila ada salah seorang dari sekelompok tersebut telah mengerjakan kewajian yang dituntut itu, maka orang lain dalam kelompok tersebut yang tidak mengerjakan tidak dinilai berdosa. Akan tetapi apabila tidak ada seorang pun yang mengerjakan maka semua orang mukallaf dalam kelompok masyarakat tersebut berdosa, karena terabaikannya kewajiba tersebut. Misalnya : mendirikan rumah sakit islam, membengun sekolah-sekolah yang mengajarkan agama islam, mengurus jenasah sesuai denngan syari’at islam.
2. SUNNAH ( Mandub )
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkan tersebut tidak mendapat siksa.
Lafal ayat atau hadist yang menunjukkan arti sunnah ada kalanya berupa kalimat tegas yang menunjukkan kesunnaannya. Dan ada kalanya berupa kalimat perintah dengan diikuti suatu petunjuk ( qarinah ) yang menunjukkan arti sunnah . Allah SWT berfirman yang artinya :
“ wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya “ ( QS Al-Baqarah 2 : 282 ).
Menuliskan utang-piutang tidaklah wajibkan, walaupun dalam ayat tersebut disebutkan kalimat perintah yang pada umumnya mengandung perintah wajib. Alasannnya adalah pada rangkaian perintah tersebut didapatkan suatu petunjuk yang dapat diartikan sebagai ketidak wajiban mencatat hutang-hutang, yaitu firman Allah dalam ayat selanjudnya , ( Ayat 283 ) yang artinya :
“ jika kamu dalam perjalanan ( dan bermuamalah tidak secara tunai ) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka , maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh yang berpiutang ) akan tetapi jika sebagian kamu mempunyai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya ( hutangnya ) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu ( para saksi ) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungghnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang menghutangi boleh mempercayai orang yang berhutang itu tanpa memcatat hutangnya. Dengan demikian perintah mencatat hutang dalam ayat 282 meskipun dengan kalimat “ Tulislah “ tidak menunjukkan arti wajib karena ada petunjuk di ayat 283 tersebut.
Secara garis besar, Hukum Sunnah dapat dibagi menjadi dua (2) bagian yaitu :
- “ Sunnah Muakkad “ yaitu perbuatan yang amat sering dilakukan oleh Rasulullah SAW, bahkan jarang sekali beliau tinggalkan , kecuali beberapa kali saja. Meskipun demikian tetap dinamai Sunnah karena bagi yang tidak mengerjakan tidak mendapat siksa. Sebaga contoh sunnah didalam ibadah antara lain : berkumur dalah wudhu, adzan dan Iqamah dalam shalat berjamaah, membaca ayat Al-Qur’an setelah Al-fatihah dalam Shalat.
- “ Sunnah Ghoiru Muakkad “ yaitu : suatu aktifitas atau perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW tetapi tuntutannya tidak sekuat sunnah muakkad. Salah satu alasanya adalah Nabi SAW pernah mengerjakan tetapi juga sering meninggalkannya. Termasuk dalam hal ini adalah segala perbuatan Nabi SAW yang berkaitan dengan beliau sebagai manusia, seperti jenis makanannya, warna pakaiannya, meskipun tidak termasuk kewajiban tetapi apabila diniatkan untuk mengikuti sunnah maka termasuk dalam kelompok sunnah ghairu muakkad. Artinya bagi yang tidak mengikuti tidak dapat dikatakan buruk karena hal tersebut bukanlah bagian dari hukum syariat,. Contohnya shalat sunnah Qobliyah Isya’.
3. HARAM
Adalah segala pebuatan yang apabila perbuatan itu ditingglakan akan mendapat pahala sementara apabila dikerjakan maka orang tersebut akan mendapatkan siksa. Suatu perbuatan dinilai haram berdasarkan teks ayat atau hadist yang biasanya dinyatakan dengan beberapa ungkapan, antara lain :
- Kalimat larangan tersebut dinyatakan dengan jelas dan tegas, misalnya dengan kata “harrama” dengan segala bentuk perbuatannnya.
Misalanya Firman Allah SWT yang artinya : “ katakanlah , Mari kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu ; janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan dia “ ( QS AL-An’aam 6 : 151 )
Juga perkataan “ la yahillu “ yaitu ( tidak halal ) sebagaimana firman Allah Yang artinya : “ wanita –wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menugnggu ) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika meraka beriman kepada Allah dan hari akhir “ ( QS AL-Baqarah 2: 228 ).
- Kalimat yang melarang itu menggunakan kata kerja yang melarang dan dibarengi dengan petunjuk ( Qarinah ) yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut benar –benar dilarang.
Sebagai contoh pada firman Allah SWT yang artinya :
“ dan janganlah kamu mendekati zina;sesunguhnya zina itu adalah sesuatu yang keji dan suatu jalan yang buruk “. ( QS AL –Israa’ 17 : 32 )
- Diperintahkan untuk menjauhinya misalanya pada Firman Allah SWT yang artinya :
“ demikianlah ( Perintah Allah ). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat disis Allah maka itu adalah lebih baik baginya disisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, “ maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis dan jauhilah perkataan-perkataan dusta “. ( QS AL-Hajj 22 : 30 ).
- Diancam dengan suatu hukuman atau siksa bagi orang-orang yang melakukannya. Misalnya pada firman Allah SWt yang artinya :
“ dan orang-orang yang enuduh wanita-wanita yang baik-baik [ 1029 ]( berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat (4) orang saksi, maka deralah meraka ( yang menuduh itu ) depan puluh ( 80 ) kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka baut selama-lamanya. Dan meraka itulah orang-orang yang fasik “. ( QS AN-Nuur 24 : 4 ).
Adanya sangsi hukuman dera sebanyak 80 kali bagi mereka yang menuduh zina tanpa empat orang saksi itu adalah menjadikan petunjuk bahwa perbuatan tersebut diharamkan.
4. MAKRUH
Suatu perbuatan disebut makruh apabila perbuatan tersebut ditinggalkan maka orang meninggalkan tersebut mendapat pahala dan apabila dikerjakan maka orang tersebut tidak mendapat siksa. Suatu perbuatan dinilai makruh dilihat dari beberapa hal antara lain :
- Ungkapan yang dipakai untuk melarang itu sudah menunjukkan kemakruannya, seperti dengan menggunakan perkataan karaha ( Memakruhkan )dengan segala bentuk dan perubahannya.
- Dengan lafas yang melarang mengerjakan suatu perbuatan kemudian didapatkan didalam ayat lain suatu kata yang menjadi petunjuk bahwa larangan yang terdapat pada ayat tersebut bukan menunjukkan keharamannya. Misalnya pada Firman Allah SWT yang artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu ) hal-hal yang jika terangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan diwaktu Alqu’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah maha pengampun lagi maha penyantun “. ( QS Al-Maai’dah 5 : 101 ).
Larangan menanyakan sesuatu secara berlebihan itu adalah makruh berdasarkan adanya petunjuk pada ayat lain yang menganjurkan untuk bertanya kepada ahlinya apabila masalahnya tersebut belum dipahami. Hal ini ditegaskan didalam firman Allah SWT yang artinya :
“ dan kami tidak mengutus sebelum kamu , kecuali orang orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui “. (QS. An-Nhal 16 : 43 ).
5. MUBAH
Yang dimaksud dengan Mubah adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala dan apabila ditingglakan tidak berdosa. Suatu perbuatan dikatakan Mubah dapat diketahui melalui berapa cara antara lain :
- Perbuatan tersebut dinyatakan secara tegas kebolehannya oleh agama, misalnya dengan ungkapan ayat atau hadist : “ tidak mengapa, tidak ada halangan, tidak berdosa “… misalnya pada firman Allah SWT yang artinya : “ dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan ( keinginan mengawini mereka ) didalam hatimu” ( QS Al-Baqarah 2 : 235 )
- Ada petunjuk dari ayat atau hadist berupa perintah untuk melakukannya tetapi ada Qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut hanya untuk mubah saja. Misalnya pada firman Allah SWT berikut yang artinya : “ dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu…” ( QS Al-Maai’dah 5 : 2 ).
- Ditetapkan kemubahannya karena adanya kaidah yang menyatakan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang memakruhkan atau mengharamkan.
Terimakasih semoga bermanfaat untuk kita semua.