Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Tentang Zina Tangan Menurut Madzhab Jumhur dan Hadist

Hukum Tentang Zina Tangan Menurut Madzhab Jumhur dan Hadist


Pembelajaranmu.com. Permasalahan onani atau masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan cara manusia itu sendiri tanpa melalui pasangan atau lawan jenis atau dengan kata lain dengan menggunakan tangan atau yang lainnya yang dapat memicu masturbasi.

Lalu apakah Hukum Onani bagi Pria dan Wanita ?

Hukum Onani Menurut Ulama Qur'an dan Hadist Riwayat
Hukum Onani Menurut Ulama Qur'an dan Hadist Riwayat

Adapun rincian Hukumnya sebagai berikut:

Onani yang dilakukan dengan bantuan anggota tubuh ( Tangan )atau yang lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Hal ini hukumnya Halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah . Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan . Wallahu a’lam bissawaab.

Sedangkan Onani ( Masturbasi ) yang dilakukan dengan Tangan sendiri atau semacamnya Tanpa melalui pasangan. Jenis ini hukumnya Haram untuk pria maupun wanita, Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i t, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad t. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. 

Allah SWT Berfirman sekaligus sebagai dalilnya yang anrtinya:

“ Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barang siapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas. ” (Al-Mu’minun: 5 - 7)

Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud z:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“ Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Al-Utsaimin berkata: 

“Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul bagi yang belum mampu menikah secepatnya untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan, tentulah Rasulullah akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan daripada berpuasa.”

Apalagi onani bisa merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga,

Beberapa  hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr :

سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ

“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)

Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.

Ulama Jumhur mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah  untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu dengan berpuasa sebagaimana telah diterangkan diatas .

Sedangkan golongan dari sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad  memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat. Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani  dalam Tamamul Minnah 
(hal. 420-421):

 “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi ), yaitu sabda Nabi kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:

فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” “Oleh karenanya, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”

Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal semua itu sangat bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaannya.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah yang sampai pada tahap menjadikannya adat istiadat atau kebiasaan, untuk berfantasi atau mengkhayalkan nikmatnya menggauli lawan jenis. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): 

“Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang bersifat seperti pembahasan diatas dan semoga informasi ini bermanfaat adanya untuk kita semua . Aammiinn….

“ Semoga bermanfaat dan terimakasih “