Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode dan Teori Pendidikan Karakter Sekolah Dasar

A. Metode dan Teori Pendidikan Karakter Sekolah Dasar

Sekolah dasar menjadi basis pengembangan karakter pada jenjang edukasi formal. Oleh karena tersebut sangat dibutuhkan model edukasi yang efektif. Penelitian Hibah Pasca mula-mula (Zuchdi, dkk: 2005-2006) pada jenjang edukasi taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah kesatu, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengindikasikan hasil antara beda sebagai berikut:

Metode dan Teori Pendidikan Karakter Sekolah Dasar
Metode dan Teori Pendidikan Karakter Sekolah Dasar
1. Metode dan Teori Pendidikan Karakter Konteks institusonal 

Konteks institusonal sekolah masih belum secara optimal menyokong pelaksanaan edukasi karakter sebab masih terdapat sekolah yang suasananya tidak cukup tertib, tidak terdapat kebebasan, menakutkan, kompetitif (tidak kooperatif), individualistik, saling iri, tertutup, berorientasi pada prestise bukan prestasi, menciptakan warga sekolah tidak kerasan berada di sekolah, tidak cukup mandiri, membosankan, mekanistik (kurang manusiawi), kepemimpinannya otoriter, dan mengakibatkan warga sekolah hendak pindah. Yang telah bagus ialah :

  • Hubungan antara guru-guru, siswa-siswa, dan siswa-guru, 
  • Kerjasama, dan 
  • Lingkungan sekolah; 

Tetapi masih tidak sedikit faktor penghambatnya. Kepemimpinan pada lazimnya belum bagus.

2. Metode dan Teori Pendidikan Karakter Strategi indoktrinasi 

Strategi indoktrinasimasih dipakai meskipun porsinya tidak terlampau besar; kadar pemberian teladan masih butuh ditambah; fasilitasi nilai yang paling sesuai guna melatih keterampilan membuat keputusan malah tidak tidak sedikit digunakan; pengembangan kemampuan hidup yang berhubungan dengan nilai dan moralitas, antara lain beranggapan kritis dan kreatif, menolak anjuran untuk melakukan tidak baik, dan menanggulangi konflik, pun belum dipakai secara maksimal.

Pola edukasi karakter yang diharapkan sukses ialah yang diintegrasikan dalam pekerjaan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, memakai strategi komprehensif, dan melewati pembiasaan. Pendidikan karakter dengan kitab cerita pembelajaran nilai juga diinginkan dapat menambah kualitas pembentukan karakter, teutama andai siswa memiliki kelaziman membaca.

3. Metode dan Teori Pendidikan Karakter Iklim edukasi 

Iklim edukasi karakter pada lazimnya tergolong kelompok sedang, dengan kata lain belum sepenuhnya kondusif. Kriteria yang dijadikan dasar penilaian mencakup perhatian guru terhadap pembedaan individual, desakan untuk menumbuhkan jiwa dan kemampuan kepemimpinan, pengutamaan kerja sama, kepatuhan pada norma kejujuran, pengembangan keterampilan mengatasi pertentangan, dan pengembangan kemampuan berkomunikasi.

4. Output (luaran) 

Output (luaran) Pendididkan karakter pada jenjang sekolah dasar: kemampuan pribadi (personal) mayoritas siswa SD tergolong kelompok sedang, demikian pun keterampilan sosialnya.

Hasil Penelitian Hibah Pasca (2005-2006) itu mengisyaratkan bahwa paling urgen upaya pengembangan model edukasi karakter pada jenjang sekolah dasar yang terintegrasi dalam bidang-bidang studi, dengan pendekatan komprehensif, yang disertai pengembangan kultur sekolah (dalam riset sebelumnya dinamakan konteks institusional sekolah) yang kondusif. Bidang studi Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial dipilih guna pengintegrasian edukasi karakter sebab ketiga bidang ini memungkinkan sekali guna diajarkan secara tematis, dengan opsi tema yang sama lintas ketiga bidang studi tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah riset ini dirumuskan yaitu: Model edukasi karakter yang bagaimanakah yang efektif guna sekolah dasar?

Produk yang diinginkan dari riset ini merupakan model edukasi karakter yang terpadu dalam pembelajaran bidang studi, yang disertai dengan pengembangan kultur sekolah, yang dapat menambah baik hasil belajar murid-murid dalam bidang studi maupun perilaku mereka cocok dengan nilai-nilai target yang diintegrasikan.

B. Landasan teori pendidikan karakter

1. Pendekatan komprehensif pendidikan karakter

Kondisi masa sekarang sangat bertolak belakang dengan situasi masa lalu. Pendekatan edukasi karakter yang dahulu lumayan efektif, tidak cocok lagi untuk membina generasi kini dan yang bakal datang. Untuk generasi masa lalu, edukasi karakter yang mempunyai sifat indoktrinatif sudah lumayan memadai untuk menahan terjadinya perilaku yang membias dari norma-norma kemasyarakatan, meskipun urusan tersebut tidak barangkali dapat menyusun pribadi-pribadi yang mempunyai kemandirian. Sebagai gantinya, dibutuhkan pendekatan edukasi karakter yang memungkinkan subjek didik dapat mengambil keputusan secara berdikari dalam memilih nilai-nilai yang saling bertentangan, laksana yang terjadi dalam kehidupan pada ketika ini. Strategi tunggal tampaknya telah tidak sesuai lagi, lagipula yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan saja pun kurang efektif, sebab sulitnya menilai yang sangat tepat guna dijadikan teladan. Dengan kata lain, dibutuhkan multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) dinamakan pendekatan komprehensif.

Istilah komprehensif yang dipakai dalam edukasi karakter mencakup sekian banyak  aspek. Pertama, isinya mesti komprehensif, mencakup semua persoalan yang sehubungan dengan opsi nilai-nilai yang mempunyai sifat pribadi hingga pertanyaan-pertanyaan tentang etika secara umum.

Kedua, caranya harus komprehensif. Termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda supaya dapat berdikari dengan mengajarkan dan memfasilitasi penciptaan keputusan moral secara bertanggung jawab, dan sekian banyak  kemampuan hidup (soft skills) . Generasi muda perlu mendapat  penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang membubuhkan perhatian untuk mereka, yaitu semua anggota keluarga, pendidik, dan pemuka masyarakat. Mereka pun memerlukan teladan dari orang dewasa tentang integritas jati diri dan kebahagiaan hidup. Demikian pun mereka butuh memperoleh peluang yang mendorong mereka memikirkan dirinya, dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk menunjukkan kehidupan mereka sendiri.

Ketiga, edukasi karakter hendaknya terjadi dalam rombongan proses edukasi di kelas, dalam pekerjaan ekstrakurikuler, dalam proses tuntunan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan seluruh aspek kehidupan. Beberapa misal mengenai urusan ini misalnya pekerjaan belajar kelompok, pemakaian bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan tentang ”kebaikan”, pemberian teladan ”tidak merokok”, ”tidak korup”, ”tidak munafik”, ”dermawan”, ”menyayangi sesama makhluk Allah”, dan sebagainya.

Yang terakhir, edukasi karakter hendaknya terjadi melewati kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, seluruh perlu berpartisipasi dalam edukasi karakter. Konsistensi seluruh pihak dalam mengemban pendidikan karakter/pendidikan nilai memprovokasi karakter generasi muda (Kirschenbaum, 1995: 9-10).

2. Metode komprehensif pendidikan karakter

Metode komprehensif mencakup dua cara tradisinal, yakni inkulkasi (penanaman) nilai dan pemberian teladan dan dua cara kontemporer, yakni fasilitasi nilai dan pengembangan kemampuan hidup (soft skills).

Inkulkasi (penanaman) nilai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
  • Mengomunikasikan keyakinan disertai dalil yang mendasarinya,
  • Memperlakukan orang beda secara adil,
  • Menghargai pandangan orang lain,
  • Menyampaikan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat,
  • Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan guna meningkatkan bisa jadi penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah bisa jadi penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki,
  • Membuat pengalaman sosial dan emosional tentang nilai-nilai yang dikehendaki, tidak secara ekstrem,
  • Menciptakan aturan, menyerahkan penghargaan, dan menyerahkan konsekuensi disertai alasan,
  • Tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan
  • Menyerahkan kebebasan untuk adanya perilaku yang berbeda-beda, bilamana sampai pada tingkat yang tidak bisa diterima, ditunjukkan untuk memberikan bisa jadi berubah.
Pendidikan karakter seharusnya tidak memakai metode indoktrinasi yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan inkulkasi, laksana tersebut di atas.

Dalam edukasi karakter, pemberian teladan adalahmetode yang biasa digunakan. Bagi dapat memakai metode ini, terdapat dua kriteria yang mesti dipenuhi. Pertama, pendidik atau orang tua mesti berperan sebagai model atau pemberi teladan yang baik untuk peserta didik atau anak-anak. Kedua, anak-anak mesti meneladani orang-orang familiar yang berakhlak mulia, khususnya Nabi Muhammad saw. untuk yang beragama Islam dan semua nabi yang lain untuk yang nonmuslim.

Cara guru dan orang tua menuntaskan masalah secara adil, menghargai pendapat anak, mengritik orang beda secara santun, adalahperilaku yang secara alami dijadikan teladan oleh anak-anak. Demikian juga bilamana guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya, anak-anak pun secara tidak sadar bakal menirunya. Oleh sebab itu, semua guru dan orang tua mesti berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, agar tidak tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.

Guru dan orang tua butuh memiliki kemampuan asertif dan kemampuan menyimak. Kedua, kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk menjalin hubungan antarpribadi dan antarkelompok. Oleh sebab itu, butuh dijadikan contoh untuk anak-anak. Keterampilan asertif ialah keterampilan menyampaikan pendapat secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain. Keterampilan menyimak merupakan keterampilan memperhatikan dengan sarat pemahaman dan secara kritis. Kedua kemampuan ini oleh Bolton (lewat Zuchdi, 1999: 14) dicerminkan sebagai yin dan yang. Keduanya mesti dikembangkan secara seimbang sebab adalahkomponen vital dalam berkomunikasi.

Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan untuk subjek didik teknik yang terbaik guna mengatasi sekian banyak  masalah, sementara fasilitasi nilai mengajar subjek didik menanggulangi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam cara fasilitasi ini ialah pemberian kesempatan untuk subjek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh subjek didik dalam pelaksanaan cara fasilitasi nilai membawa akibat positif pada perkembangan jati diri (Kirschenbaum, 1995: 41).

Metode yang terakhir, pengembangan kemampuan hidup (soft skills). Ada sekian banyak  keterampilan yang diperlukan supaya seseorang dapat melaksanakan nilai-nilai yang dianut, sampai-sampai berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan itu antara lain: beranggapan kritis, beranggapan kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, beraksi asertif, dan mengejar resolusi konflik, yang secara ringkas disebut kemampuan akademik dan kemampuan sosial.

Sumber,
cerdasberkarakter.kemedikbud.go.id