Beberapa Masalah Zakat yang Perlu Diketahui
Masalah Dalam Zakat.
Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam bahkan didalam Al-Qur'an menajdikan zakat dan shalat sebagai lambang dari seluruh ajaran Islam sebagaimana firman Allah Swt yang dalam Q.S At-Taubah 9:11, yang artinya :
" Apabila mereka, kaum musyrik, bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, maka mereka adalah saudara - saudara seagama.(Q.S At-Taubah 9:11).
Secara garis besar, zakat dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu zakat mal (harta) dan zakat fitrah (jiwa). Namun untuk ulasan kali ini kita hanya akan membahas tentang zakat Mal (harta) dan untuk yang lainnya kita akan bahas pada tulisan selanjudnya. Selain itu, ulasan tentang zakat ini pun di batasi pada hasil usaha yang zakatnya tidak di tentukan oleh nas, misalnya :
- perkebunan,
- peternakan,
- perikanan,
- gaji/upah, dan
- Industri.
1. Hukum zakat usaha yang tidak ditentukan oleh Nash.
a. Hukum Zakat Hasil Perkebunan.
Para Fuqaha sependapat mengenai wajibnya zakat pada empat macam tanaman yaitu, gandum, jerawut, kurma, dan anggur kering. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw yang artinya :
" Janganlah kamu mengambil zakat tumbuhan - tumbuhan kecuali dari empat macam, sya'ir, gandum, zabib dan kurma." (H.R Hakim, Daruquthny, dan Thabrani).
![]() |
Beberapa Masalah Zakat yang Perlu Diketahui |
- Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap semua jenis tanaman yang dapat disimpan lama dan merupakan makan pokok.
- Ibnu Abi Laila, Sofyan Al-Tsauri, dan Ibnu Al-Mubarak berpendapat bahwa tidka wajib membayar zakat dari hasil tanaman kecuali empat macam seperti disebutkan di Atas.
- Imam Ahmad berpendapat bahwa semua tanaman yang ditanam manusia, yang kering, tahan lama dan di takar, baik biji - bijian maupun buah, baik merupakan makanan pokok maupun bukan, seperti mentimun, dikenakan zakat.
- Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap semua hasil bumi, selain rumput, kayu dan bambu.
- Abu Yusuf dan Muhammad menyatakan : " Tidak wajib zakat atas hasil tanaman, kecuali biji-bijian dan buah-buahan yang dapat di awetkan selama satu tahun, tanpa banyak pemeliharaan, baik berupa hasil yang bisa di takar seperti biji-bijian, maupun yang di timbang seperti kapas dan gula.
Mentimun, semangka, sayuran, mangga, jeruk dan lainnya tidak wajib di zakati karena tidak bisa diawetkanselama satu tahun. Dasar yang dijadikan pegangan adalah Hadits Riwayat Ya'qub bin Syaibah dan Musa bin Thalhah yang artinya : " Tidak ada zakat pada sayuran ".
Perbedaan pendapat para 'Fuqaha' yang menetapkan kewajiban zakat hanya ada pada empat macam tanaman dengan fuqaha, yang menetapkan kewajiban zakat atas semua hasil tanaman yang dapat diawetkan dan merupakan makanan pokok, disebabkan karena perbedaan pendapat mereka mengenai pertalian zakat dengan keempat macam tanaman tersebut, apakah karena zat makanan itu sendiri atau karena adanya suatu " illat padanya, yaitu kedudukan-nya sebagai makanan pokok".
Bagi ' Fuqaha ' yang berpendapat bahwa pertalian tersebut ada pada zatnya, maka tidak wajib zakat kecuali empat macam tanaman tersebut. Sedangkan bagi ' Fuqaha ' yang menyatakan bahwa pertalian itu karena kedudukannya sebagai makanan pokok, maka mereka menetapkan kewajiban zakat terhadap tanaman yang merupakan makanan pokok.
Sedangkan perbedaan pendapat antara ' Fuqaha ' yang membatasi kewajiban zakat pada makanan pokok dengan ' Fuqaha ' yang menetapkan kewajiban zakat bagi semua hasil bumi, kecuali rumput, kayu dan bambu, dikarenakan adanya pertentangan antara Qiyas dengan ketentuan umum.
Dalam sabda Rasulullah Saw, yang dimaksud dengan ketentuan umum adalah sebagaimana hadits Berikut yang artinya :
" Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya ia mendengar Rasulullah Saw. Bersabda : " pada tanaman yang disirami air sungai dan hujan (zakatnya) adalah sepersepuluh (10%), dan pada tanaman yang disirami dengan menggunakan kincir yang ditarik binatang, (zakatnya) seperduapuluh (atua 5%) (H.R Muslim, Ahmad, dan Nasa'i).
Adapun yang dimaksud dengan Qiyas tersebut adalah bahwa zakat itu dimaksudkan sebagai penutup kebutuhan pokok, dan hal ini umumnya hanya terdapat pada tanaman yang merupakan bahan makanan pokok.
Bagi ' Fuqaha ' yang memegangi ketentuan umum, mereka mewajibkan zakat pada semua tanaman, selain tanaman yang dikecualikan oleh Ijma'. Sedangkan ' Fuqaha ' yang memegangi qiyas, mereka hanya mewajibkan zakat atas tanaman - tanaman yang merupakan bahan makanan pokok.
Adapun Nishab zakat hasil perkebunan, sebagaimana diketahui adalah lima wasaq (-+ 930 liter), sebagaimana hadits berikut yang artinya :
" Dari Abu Sai'id Al-Khudry, ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda : " Tidak ada shadaqah (zakat) pada biji-bijian dan buah-buahan sehingga sampai banyaknya lima wasaq." (H.R Muslim).
Sedangkan perbedaan pendapat antara ' Fuqaha ' yang membatasi kewajiban zakat pada makanan pokok dengan ' Fuqaha ' yang menetapkan kewajiban zakat bagi semua hasil bumi, kecuali rumput, kayu dan bambu, dikarenakan adanya pertentangan antara Qiyas dengan ketentuan umum.
Dalam sabda Rasulullah Saw, yang dimaksud dengan ketentuan umum adalah sebagaimana hadits Berikut yang artinya :
" Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya ia mendengar Rasulullah Saw. Bersabda : " pada tanaman yang disirami air sungai dan hujan (zakatnya) adalah sepersepuluh (10%), dan pada tanaman yang disirami dengan menggunakan kincir yang ditarik binatang, (zakatnya) seperduapuluh (atua 5%) (H.R Muslim, Ahmad, dan Nasa'i).
Adapun yang dimaksud dengan Qiyas tersebut adalah bahwa zakat itu dimaksudkan sebagai penutup kebutuhan pokok, dan hal ini umumnya hanya terdapat pada tanaman yang merupakan bahan makanan pokok.
Bagi ' Fuqaha ' yang memegangi ketentuan umum, mereka mewajibkan zakat pada semua tanaman, selain tanaman yang dikecualikan oleh Ijma'. Sedangkan ' Fuqaha ' yang memegangi qiyas, mereka hanya mewajibkan zakat atas tanaman - tanaman yang merupakan bahan makanan pokok.
Adapun Nishab zakat hasil perkebunan, sebagaimana diketahui adalah lima wasaq (-+ 930 liter), sebagaimana hadits berikut yang artinya :
" Dari Abu Sai'id Al-Khudry, ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda : " Tidak ada shadaqah (zakat) pada biji-bijian dan buah-buahan sehingga sampai banyaknya lima wasaq." (H.R Muslim).
b. Hukum Zakat Peternakan dan Perikanan.
Para ' Fuqaha ', bersepakat wajib zakat atas beberapa jenis binatang, yaitu unta, kerbau, lembu, kambing, dan beri-beri. Namun mereka berbeda pendapat mengenai binatang ternak lainnya, demikian pula mengenai perikanan. Seperti halnya zakat hasil perkebunan, kewajiban mengeluarkan zakat hasil peternakan dan perikanan pun harus dikembangkan.
Diantara hewan - hewan yang diperselisihkan ada yang berkenaan dengan macamnya dan ada yang berkaitan dengan sifatnya. Yang diperselisihkan menurut macamnya ialah kuda. Jumhur berpendapat bahwa kuda tidak wajib dizakati.
Pendapat jumhur ini berdasarkan pada Hadits Rasulullah Saw yang artinya :
" Tidak ada sedekah (zakat) atas orang islam, baik pada hamba maupun kudanya ".
Sedangkan Abu Hanifah menyatakan, bahwa bila kuda itu digembalakan dan dikembangbiakkan, maka dikenai zakat bila terdiri dari kuda jantan dan betina. Abu Hanifah medasarkan pada Hadits Rasululllah Saw. yang beliau ungkapkan setelah menyebutkan " kuda", yang artinya :
" Dan ia tidak melupakan hak Allah pada lehernya maupun punggungnya."
Abu Hanifah menyatakan bahwa yang dimaksud hak Allah dalam hadits tersebut adalah zakat, yakni pada kuda yang digembalakan.
Perlu kita lihat, bahwasanya Umar bin Khattab, khalifah kedua yang masa hidupnya tidak jauh dengan masa Rasulullah Saw. Telah mewajibkan zakat kuda, padahal pada masa Nabi Saw, kuda itu tidak dikeluarkan zakatnya, sebagaimana bunyi Hadits di atas. Hal ini barangkali, karena pada masa khalifah Umar, peternakan kuda sudah mencapai suatu bisnis yang nilai usahanya mencapai nishab usaha peternakan yang telah diwajibkan zakatnya.
Untuk mengenai sifatnya, para ulama berbeda pendapat antara digembalakan dan yang tidak digembalakan, semisal unta, sapi, dan kambing. Sebagian menyatakan unta, sapi, dan kambing dikenai zakat baik digembalakan maupun tudak. Sedangkan sebagian ulama yang lain (ulama mesir) beranggapan bahwa yang dikenai zakat dari tiga jenis binatang tersebut adalah bila ketiganya digembalakan.
Adapun tentang binatang lainnya dan perikanan, Jumhur ulama salafiyah tidak mengenakan pungutan apa - apa, karena memang tidak ada nash-nya disamping itu tidak belum dijadikan usaha untuk mencari kekayaan. Ini berbeda dengn sekarang, bahwa peternakan dan perikanan sebagaimana dimaksud diatas sudah dijadikan usaha besar yang penghasilannya bisa lebih besar dari hewan yang dikenakan zakatnya oleh Nash.
Berdasarkan inilah, sangat tepat para pembaharu dalam bidang Fiqih meng-Qiyaskan binatang ternak tersebut dengan unta, sapi dan kambing, yakni dikenakan zakat. Sedangkan mengenai perikanan, terdapat sebagian ulama yang menyatakan " wajib dikenai zakat " karena di dalamnya mengandung unsur ( sadd al-khallah), yaitu harta itu merupakan suatu yagn bermanfaat bagi manusia dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya , dan " tanmiyah", yaitu bahwa harta mempunyai kemungkinan berkembang, bertumpuk dan bertambah banyak.
Sementara itu, Nisabnya, bisa dinishabkan kepada nishab binatang ternak yang wajib dizakati berdasarkan ketentuan Nash misalnya :
- Jenis ternaknya adalah Ayam,
- Harga per ekor adalah Rp. 10.000,
- Nisab kambing yaitu : 40 s/d 120 ekor, zakatnya 1 ekor
- Harga 1 kambing : Rp. 200.000
- Harga kambing : Nilai harga ayam = 1 : 20.
- Maka nishab ayam adalah : 20 x 40 (batas minimal nishab kabing) = 800 ekor.
c. Hukum Zakat Gaji / Upah.
Yang dimaksud dengan gaji / upah ialah upah kerja yang dibayarkan diwaktu yang tetap. Disamping gaji ada juga penghasilan lain, sebagai upah atau balas jasa atas suatu perkerjaan.d
Masaah - masalah di atas termasuk garapan ijtihadi, sebab Nash tidak mengaturnya. Sekalipun demikian, menurut Masjfuq Zuhdi, bahwa sema macam penghasilan tersebut terkena ketentuan zakat sebesar 2,5 % berdasarkan firman Allah Swt yang artinya :
" Hai orang-orang yagn beriman, nafkahkanlah ( dijalan Allah) bagian dari hasil usahamu yang baik-baik (Q.S Al _ Baqarah 2 : 276).
Kewajiban tersebut, menurutnya apabila penghasilan telah melebihi kebutuhan pokok hidupnya dan keluarganya yagn berupa sandang, pangan dan papan beserta alat-alat rumah tangga, alat-alat kerja/usaha, kendaraan, dan lainnya yang tidak bisa diabaikan; bebas dari beban hutang, baik kepada Allah - seperti nazar haji yang belum ditunaikan - maupun terhadap semua manusia. Kemudian sisa penghasilan itu masih mencapai nishab, yakni senilai 93,6 gram emas (artinya disamakan dengan emas) dan telah genap setahun.
d. Hukum zakat Saham, Industri, dan Lainnya.
Masalah di atas juga termasuk dalam bisang garapan ijtihadi, sebab tidak ada nash yang mengaturnya. Menurut Masjfuq Zuhdi, bahwa semua saham perusahaan/perseroan, baik yang terjun dibidang perdagangan murni maupun dalam bidang perindustrian dan lain-lain, wajib di zakati menurut kurs pada waktu mengeluarkan zakatnya, yaitu sebesar 2,5 % setahun seperti zakat tijarah. Apabila telah mencapai Nishab dan sudah haul.
Sementara menurut Abdurrahman Isa, tidak semua saham itu dizakati. Apabila saham - saham itu berkaitan dengan perusahaan/perseroan yang berkaitan langsung dengan perdagangan, maka wajib di zakati seluruh sahamnya. Namun bila tidak berkaitan dengan perdagangan atau tidak memproduksi barang untuk diperdagangkan atau tidak memproduksi barang untuk diperdagangkan, maka saham - saham itu tidak wajib di zakati.
Di Indonesia semua permasalahan zakat ini sudah direspon, dan telah diundang-undangkan dalam hukum positif, yaitu UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam pasal 11 ayat 2 UU tersebut, disebutkan bahwa harta yagn dikenai zakat adalah :
- Emas, perak, dan uang;
- Perdagangan dan perusahaan;
- Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
- Hasil pertembangan;
- Hasil peternakan;
- Hasil pendapatan dan jasa; serta
- Rikaz.
2. Masalah Zakat dan Hutang.
Dikaitkannya pembahasan zakat dan hutang ini karena salah satu syarat wajib zakat adalah adanya " milk tam". Permasalahannya adalah apakah milik yang dihutang oleh orang atau barang yang ada pada seseorang (sebagai barang pinjaman) itu termasuk kedalam pengertian " milk tam", dan wajib dikenai zakat? dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Apabila seseorang menghutangkan hartanya kepada orang lain dan jumlah harta dihitung itu sampai satu nishab atau lebih, maka harta yagn dihutangkannya itu wajib di zakati, dengan syarat yang berhutang itu orang mampu (kaya). adapun cara pembayarannya, adalah sebagai berikut :
- Menurut Imam As-Syafi'i, harta itu dikeluarkan setiap tahun, karena harta tersebut disamakan dengan barang titipan (wadhi'ah) dan dipandang sebagai milk tam.
- Menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, piutang tersebut hanya dizakati untuk satu haul yaitu pada saat mengembalikan, meski telah berada di tangan orang yagn berhutang beberapa haul. Keduanya menyamakan dengan uang yang ada di tangannya yang berarti sebagai milk tam.
- Sedangkan menurut Imam Malik berpendapat tidak jauh beda dengan pendapat dari Imam Abu Hanifah, yakni wajib dikeluarkan zakatnya pada saat dikembalikan dan cukup hanya untuk satu tahun saja, yaitu tahun saat dikembalikannya.
Ada pula " Fuqaha " yang lain, yang berpendapat bahwa harta itu dizakati harus menunggu haul berikutnya, yakni sejak hari diterimanya piutang. Ulama golongan kedua ini berarti tidak mewajibkan zakat. Sedang mengenai barang orang lain yagn ada padanya (sebagai barang pinjaman), maka berarti tidak termasuk dalam pengertian milk tam, karenanya tidak wajib di zakati.
Lalu bagaimana bila pihak yang berhutang itu adalah golongan orang yang tidak mampu (miskin)? para ulama berbeda pendapat pula yang diantaranya :
- Harta itu tidak wajib dizakati. Ini pendapat Qatadah, Abu Tsaur dan Ishaq;
- Menurut Imam Hanafi dan Ulama Iraq, Piutang tersebut wajib dizakati pada saat dikembalikan untuk seluruh tahun yang belum di zakati.
- Menurut Imam Malik, piutang tersebut wajib di zakati pada saat dikembalikan saja hanya untuk satu haul saja.
3. Perbedaan Antara Pajak dan Zakat.
Antara zakat dan pajak memang memiliki sisi kesamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah zakat dan pajak adalah sama-sama kewajiban yang harus dikeluarkan oleh setiap orang yang memiliki harta (kekayaan) tertentu yang dipandang patut dikeluarkan zakatnya/pajaknya. Kemudian, Masjfuq Zuhdi mengemukakan perbedaan zakat dan pajak yang prinsipil. Perbedaan tersebut terletak pada hal berikut ini :
- Beda dasar hukumnya. Dasar hukum zakat adalah AL-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dasar hukum pajak adalah perundang-undangan.
- Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama. Sedangkan pajak adalah suatu kewajiban terhadap negara.
- Beda objek/sasarannya. Kewajiban zakat harus khusus bagi umat Islam sedangkan kewajiban pajak berlaku bagi seluruh penduduk tanpa memandang agama.
- Beda kriteria wajib zakat dan wajib pajak. Kriteria kekayaan dan penghasilan yang terkena zakat dan pajak persentasenya tidak sama.
- Beda dalam pos-pos penggunaannya. Zakat hanya digunakan untuk 8 golongan sebagaimana ditentukan dalam Al-Qur'an, sedangkan pajak digunakan pos-pos yang sangat luas.
- Beda hikmahnya. Di antara hikmah zakat adalah untuk mensucikan jiwa dan harta si muzakki, untuk memeratakan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat, sedangkan pajak dipergunakan terutama untuk pembangunan.
Berdasarkan perbadaan di atas, antara zakat dengan pajak tidaklah dapat di samakan. Artinya, bahwa orang yang terkena wajib zakat tetap terkena wajib pajak dan seseorang yang terkena wajib pajak juga tetap terkena wajib zakat.
Namun demikian, Masjfug Zuhdi menyatakan : " Alangkah baiknya jika pemerintah berkenan memberikan dispensasi berupa pemotongan pajak bagi wajib pajak zakat Muslim yang benar-benar telah menyalurkan zakatnya kepada Baitul Mal yang dibentuk oleh Pemerintah. Dispensasi semacam ini kiranya akan meringankan beban dan menghindari (kewajiban ganda) pada pajak dan zakat.
4. Hubungan Antara Zakat, Infaq, dan Shadaqah.
Antara infaq, zakat, dan shadaqah terdapat titik persamaan dan disamping itu terdapat pula perbedaannya. Persamaannya adalah bahwa ketiganya merupakan salah satu ketetapan Tuhan berkenaan dengan harta benda, karena Allah Swt. menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan bagi umat manusia seluruhnya. Karenanya, ia harus di arahkan guna kepentingan bersama.
![]() |
Beberapa Masalah Zakat yang Perlu Diketahui |
Sedangkan perbedaanya adalah bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus di tunaikan berkenaan dengan syarat-syarat dan rukun yang telah di tetepkan oleh Agama, sedangkan infq dan shadaqah bersifat unjuran dan tidak ada syarat-syarat dan rukun sebagaimana yang terdapat pada zakat. Pemberian infaq dimaksudkan untuk meninggikan Agama Allah Swt. Sedangkan Shadaqah kepada orang lain lebih di dasarkan kepada rasa suka rela.
5. Pengelolahan Zakat oleh BAZIS.
BAZIS adalah Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Badan ini dibentuk oleh pemerintah yang bertugas untuk mengumpulkan, menyalurkan dan mendayagunakan zakat, infaq, dan shadaqah. Dengan demikian, BAZIS ini berstatus sama dengan Amil Al- Zakat. Tugas dari BAZIS ini sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya :
" Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (Q.S. AT-Taubah 9:103).
Kata " khudz" (ambillah) ditujukan kepada Nabi Saw, yang berarti bahwa beliau selaku Rasul Allah sekaligus penguasa - waktu itu di masanya- diperintahkan oleh Allah untuk memungut zakat. Berkaitan dengan masalah ini, Rasulullah Saw pun pernah memerintahkan kepada Mu'adzbin Jabal sewaktu beliau utus untuk menjadi pemimpin di yaman.
Sekalipun Negara Indonesia bukan Negara Islam, namun adanya BAZIS ini merupakan wujud nyata dan sejalan dengan salah satu prinsip - prinsip Islam mensyariatkan zakat, infaq dan shadaqah, yakni untuk mensejahterakan umat (islam).
Selain itu telah di susun pula undang-undang yang mengatur secara khusus tentang zakat ini yaitu UU RI no 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Karena itulah, seyogyanya umat islam menyalurkan zakat, infaq, dan shadaqah melalui badan ini dan badan- badan lainnya asalkan sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah.
Demikian penjelasan tersebut diatas, semoga ada manfaatnya dan terimakasih.
Sumber : Fiqih Islam,
Penulis : H. Mundzier Suparta, MA.
Sumber : Fiqih Islam,
Penulis : H. Mundzier Suparta, MA.