Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum dan Niat Qhodo' Puasa Ramadhan dalam Islam

Niat Qhodo' Puasa Ramadhan dan Hukumnya.

Salam sahabat muslim dimanapun berada, berikut kita akan mengulas tentang bagaimana niat dan hukum meng-Qhodo' puasa ramadhan sesuai dengan masalah - masalah yang berbeda-beda yang tentunya lain masalah lain juga hukumnya.

Maka dari itu, diartikel ini kita akan menjelaskan apa saja hal-hal yang perlu kita ketahui tentang mengQhodo' puasa? berikut ulasannya.

1. Niat Meng-Qhodo' Puasa Ramadhan.

Tentunya ketika kita hendak atau ingin meng-Qhodo' puasa kita, pastilah didahului dengan niat terlebih dahulu, 

dan niat mengqhodo' puasa pastilah berbeda dengan niat puasa pada umumnya di bulan ramadhan. lalu bagaimanakah niatnya : berikut niatnya.

Penjelasan Niat Qhodo' Puasa Ramadhan dan Hukumnya
Penjelasan Niat Qhodo' Puasa Ramadhan dan Hukumnya

yang artinya :

" Saya berniat puasa esok hari untuk mengganti fardhu ramadhan karena Allah Ta'ala "

2. Hukum Qhodo' Puasa.

Apakah itu Qodho’ ? qodho’ adalah mengerjakan sesuatu ibadah yang mempunyai batasan waktu di luar waktunya. (Roudhotun Nazhir, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy, 1/58). 

Berikut ini akan kita uraikan beberapa masalah tentang meng-qodho’ puasa yang ditinggalkan dan juga tenang siapa apa dan bagaimana serta kapan waktu pelaksanannya bagi umat islam. 

Untuk jelasnya mari kita simak ulasna berikut ini.

  • Qodho’ Ramadhan bagi Orang yang Tidak Berpuasa Tanpa Udzur.

Ada beberapa orang, pada bulan Ramadhan malah tidak berpuasa. Bukan karena alasan sakit atau bersafar, namun mereka tidak berpuasa karena malas-malasan.

Mereka berpuasa tanpa ada udzur sama sekali. Perlu diketahui bersama bahwa meninggalkan puasa semacam ini adalah termasuk dosa besar.

Lalu apakah orang yang meninggalkan puasanya tanpa udzur diharuskan meng-qodho’ puasanya? Pendapat terkuat sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Hazm. 

Beliau berpendapat bahwa tidak wajib meng-qodho’ puasa bagi orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja tanpa ada udzur. 

Alasannya, karena ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan waktu akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil yang baru yang mensyariatkannya.

Juga terdapat perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang menegaskan hal ini dengan  mengatakan , bahwa :

“ Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada rukhsoh (keringanan), maka perbuatan semacam ini tidak bisa ditembus dengan puasa setahun penuh.”  (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya no. 9784 dengan sanad yang shahih)

Jadi, orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada alasan sama sekali, maka dia tidak diwajibkan untuk mengqodho’. 

Inilah pendapat yang lebih kuat. Namun ingat, orang yang melakukan semacam ini punya kewajiban untuk bertaubat karena yang dia lakukan adalah dosa besar. 

Syarat taubat yang harus dipenuhi adalah dilakukan dengan ikhlas, menyesali dosa yang telah dilakukan, 

tidak terus menerus berbuat dosa, bertekad tidak mengulangi dosa tersebut dan dilakukan sebelum berakhirnya waktu diterimanya taubat.

  • Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda.

Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Aku masih memiliki utang puasa. Aku tidak mampu untuk mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” 

Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Ibnu Hajar berkata, “ Di dalam hadits ini memiliki dalil mengenai dibolehkannya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.” (Fathul Bari, 6/209)

Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Qur'an Surah Al-Mu'minun:61 yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan ,yang artinya: 

“ Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan - kebaikan, dan merekalah orang - orang yang segera memperolehnya" (Q.S Al-Mu'minun :61).

  • Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan Berikutnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz : Beliau pernah memiliki jabatan sebagai ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia)- ditanyakan kepadanya bahwa,

 “ Apakah hukum seorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga tiba pada Ramadhan berikutnya dan ia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’ tersebut?

 Apakah cukup dengan bertaubat dan menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”

Maka itu, Syaikh Ibnu Baz menjawab dengan menyatakan bahwa, “ Dia wajib bertaubat kepada Allah Saw dan ia wajib memberikan makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. 

Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. 

Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Sebagaimana hal ini difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’ puasanya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/347).

  • Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa.

Hal ini berdasarkan firman Allah Saw dalam Qur’an Surah AL-Baqarah 185 yang artinya :

“ Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Ibnu ‘Abbas berakata, “ Tidak mengapa jika (ketika mengqodho’ puasa) dilakukan tidak berurutan” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih)

  • Barang siapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa.

Bagi orang yang meninggal dunia, namun masih memiliki utang puasa, maka dia dipuasakan oleh ahli warisnya, baik puasa nadzar atau pun puasa Ramadhan. 

Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah r.a yang menyatakan bahwa :

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya mempuasakannya. ” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147).  “Waliyyuhu” adalah ahli waris (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525).

Dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata, “ Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Saw, lalu kemudian ia berkata, 

“ Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama satu bulan (dalam riwayat lain dijelaskan: puasa tersebut adalah puasa nasar), 

apakah aku harus mempuasakannya?” Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “ Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan.” (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148)

- Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia tidak terlepas dari tiga kemungkinan:

1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal dunia dan dia tidak mampu membayar qodho’ puasanya, untuk orang semacam ini tidak perlu dibayar qodho’ puasanya.

2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk membayar qodho’ puasanya, namun dia tidak menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini dipuasakan oleh ahli warisnya.

3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum ditunaikan, pada saat ini dipuasakan oleh ahli warisnya.

Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada ahli warisnya. Kemudian beberapa ahli waris –boleh laki-laki atau pun perempuan- mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. 

Boleh juga mereka membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525).

Demikian penjelasna singkat tersebut diatas, semoga bermanfaat dan terimakasih.
Sumber : Panduan Ramadhan
Penulis : Muhammad Abdul Tuasikal.